1.1. Latar Belakang
Pada tahun 2011
Kementerian Kelautan dan Perikanan (KKP) menetapkan target budidaya sebesar
6.847 juta ton, dan sampai 2014 diharapkan target produksi ikan budidaya berada
di posisi 16,8 juta ton, sebagaimana tertulis dalam Rencana Strategis (Renstra
KKP 2010-2014). Sejalan dengan target budidaya tersebut Direktorat Jenderal
Perikanan Budidaya KKP memprioritaskan jenis ikan laut, tawar dan payau.
Setidaknya ada lima komoditas perikanan budidaya yang dapat didorong atau
dipacu pengembangannya yaitu rumput laut, ikan lele, ikan patin, ikan kakap dan
ikan kerapu.
Kerapu memiliki banyak
jenis antara lain kerapu tikus/bebek, kerapu macan, kerapu sunu, kerapu
kertang, kerapu lumpur dan lain-lain. Dari sekian banyak kerapu teknologi
budidaya kerapu telah dikuasai, baik dari segi pembenihannya maupun
pembesarannya. Sekarang telah berkembang ikan kerapu jenis baru, hasil
persilangan antara beberapa jenis kerapu. Kerapu cantang adalah kerapu hasil
persilangan kerapu macan dan kerapu kertang.
perekayasaan hibridisasi ikan kerapu
antara ikan kerapu macan betina dan kerapu kertang jantan telah menghasilkan
satu varietas baru yang secara morfologis mirip dengan kedua spesies
induknya, sedangkan partumbuhannya lebih baik daripada ikan kerapu macan dan
kerapu kertang itu sendiri. Dengan hadirnya benih varietas baru ini
diharapkan dapat membantu produksi benih secara Nasional untuk mendukung
pencapaian target produksi sebesar 353% Kementerian Kelautan dan Perikanan
tahun 2014.
Dalam budidaya perikanan,
pakan merupakan faktor penting dikarenakan beberapa hal, salah satunya adalah
fungsi pakan untuk memacu pertumbuhan organisme budidaya dengan pemberian pakan
yang bergizi, tepat waktu dan dosis yang cukup. makanan yang diperlukan dalam
budidaya ikan kerapu, membutuhkan biaya produksi yang cukup tinggi. Sekitar
60%-70% dari total biaya produksi digunakan untuk pembelian pakan.
Karena itu, manajemen
(pengelolaan) pakan sangat penting dalam budidaya perikanan, bukan saja karena
merupakan bagian dari sistem produksi yang menyedot biaya terbesar, melainkan
juga sangat berpengaruh terhadap kualitas air dan lingkungan sekitarnya.
Manajemen pakan terdiri dari memilih merek atau membuat pakan yang akan digunakan,
mengadakan, menyimpan dan prosedur pemberiannya kepada biota budidaya pada
waktu yang tepat dan takaran yang benar
2.1. Biologi Ikan Kerapu
Cantang
kerapu
cantang (epinephelus sp) merupakan benih hibrid hasil perekayasaan perkawinan
silang antara ikan kerapu macan (epinephelus fuscoguttatus) sebagai induk
betina dengan kerapu kertang (epinephelus lanceolatus) sebagai induk jantan.
2.1.1. Taksonomi
klasifikasi
ikan kerapu macan (epinehelus fuscoguttatus) digolongkan
menjadi :
Kelas :
Chondrichthyes
Sub kelas : Ellasmobranchii
Ordo :
Percomorphi
Divisi : Perciformes
Famili : Serranidae
Genus :
Epinephelus
Spesies : Epinepheus fuscoguttatus
Sedangkan klasifikasi ikan
kerapu kertang (epinephelus lanceolatus) ialah
sebagai berikut :
Kelas :
Chondrichthyes
Sub kelas : Ellasmobranchii
Ordo :
Percomorphi
Divisi : Perciformes
Famili : Serranidae
Genus :
Epinephelus
Spesies : Epinepheus lanceolatus
Perekayasaan hibridisasi ikan kerapu
antara ikan kerapu macan betina dan kerapu kertang jantan telah menghasilkan
satu varietas baru yang secara morfologis mirip dengan kedua spesies
induknya, sedangkan partumbuhannya lebih baik daripada ikan kerapu macan dan
kerapu kertang itu sendiri.
2.1.2.
Morfologi dan Anatomi
terdapat perbandingan
morfologi dan anatomi pada ikan kerapu macan, hibrida dan kertang.
Masing-masing perbandingan tersebut dapat dilihat pada Tabel 1.
Tabel 1. Perbandingan
morfologi dan anatomi kerapu macan, hibrida dan kertang
No
|
Kerapu Macan
|
Kerapu Hibrida
|
Kerapu Kertang
|
1.
|
Bentuk
tubuh compres sedikit membulat
|
Bentuk tubuh compres dan relative membulat dengan
ukuran lebar kepala sedikit atau hampir sama dengan lebar badannya
|
Bentuk tubuh compres dan sedikit membulat
|
2.
|
Warna kulit kecoklatan dengan 5 garis melintang
dibagian tubuhnya
|
Warna kulit coklat kehitaman dengan 5 garis hitam
melintang di bagian tubuhnya
|
Warna tubuh abu-abu kehitaman dengan 4 garis
melintang yang kurang begitu jelas (samar-samar)
|
3.
|
Semua sirip (pectoral, anal, ventral, dorsal dan
caudal ) dengan dasar berwarna coklat dilengkapi dengan bintik-bintik hitam
|
Semua sirip (pectoral, anal, ventral, dorsal dan
caudal ) bercorak seperti kertang dengan dasar berwarna kuning dilengkapi
dengan bintik-bintik hitam
|
Semua sirip (pectoral, anal, ventral, dorsal dan
caudal ) dengan dasar berwarna kuning dilengkapi dengan bintik-bintik hitam
|
4.
|
Bintik hitam melebar dihampir semua bagian tubuh.
|
Bintik hitam juga banyak tersebar di kepala dan
didekat sirip pectoral dengan jumlah yang berlainan pada setiap individu
|
Bintik hitam juga banyak tersebar di kepala dan
didekat sirip pectoral dengan jumlah yang berlainan pada setiap individu
|
5.
|
Sirip punggung semakin melebar kearah belakang
|
Sirip punggung semakin melebar kearah belakang
|
Sirip punggung semakin melebar kearah belakang
|
6.
|
Sirip punggung menyatu yang terdiri atas 11
jari-jari keras dan 14 jari-jari lunak, sirip pectoral terdiri atas 16
jari-jari lunak, sirip ventral terdiri dari 1 jari-jari keras dan 5 jari-jari
lunak, sirip anal terdiri dari 2 jari-jari keras dan 9 jari-jari lunak,
sedangkan sirip caudal terdiri atas 18 jari-jari lunak.
|
Sirip punggung menyatu yang terdiri atas 11
jari-jari keras dan 15 jari-jari lunak, sirip pectoral terdiri atas 17
jari-jari lunak, sirip ventral terdiri dari 1 jari-jari keras dan 5 jari-jari
lunak, sirip anal terdiri dari 2 jari-jari keras dan 8 jari-jari lunak,
sedangkan sirip caudal terdiri atas 13 jari-jari lunak.
|
Sirip punggung menyatu yang terdiri atas 11
jari-jari keras dan 15 jari-jari lunak, sirip pectoral terdiri atas 17
jari-jari lunak, sirip ventral terdiri dari 1 jari-jari keras dan 5 jari-jari
lunak, sirip anal terdiri dari 2 jari-jari keras dan 8 jari-jari lunak, sedangkan
sirip caudal terdiri atas 13 jari-jari lunak.
|
7.
|
Bentuk ekor rounded
|
Bentuk ekor rounded
|
Bentuk ekor rounded
|
8.
|
Bentuk mulut lebar, superior (bibir bawah lebih
panjang dari bibir atas)
|
Bentuk mulut lebar, superior (bibir bawah lebih
panjang dari bibir atas)
|
Bentuk mulut lebar, superior (bibir bawah lebih
panjang dari bibir atas)
|
9.
|
Tipe sisik stenoid (bergerigi)
|
Tipe sisik stenoid (bergerigi)
|
Tipe sisik stenoid (bergerigi)
|
10.
|
Bentuk gigi runcing (canine)
|
Bentuk gigi runcing (canine)
|
Bentuk gigi runcing (canine)
|
11.
|
Panjang ikan 25 cm
|
Panjang ikan 48 cm,
|
Panjang ikan 32 cm,
|
12.
|
Panjang
usus 34 cm
|
Panjang
usus 63 cm
|
Panjang
usus 55 cm
|
2.1.3.
Habitat dan Tingkah Laku
Ikan kerapu macan hidup di kawasan terumbu karang yang terdapat di perairan-perairan
dangkal hingga 100 m dibawah permukaan air laut. Selain perairan yang
berkarang, tempat tenggelamnya kapal menjadi rumpon yang nyaman bagi ikan
kerapu. Ikan tersebut akan berdiam dalam lubang-lubang karang atau rumpon
dengan aktifitas yang relatif rendah.
daerah penyebaran kerapu macan meliputi Afrika Timur sampai dengan
pasifik barat daya. Di Indonesia kerapu macan banyak ditemukan di perairan
pulau Sumatra, Jawa, Sulawesi, Buru, dan Ambon. Salah satu indikator adanya
kerapu ini adalah wilayah karang yang bentangannya cukup luas.
Indonesia memiliki perairan karang yang cukup luas, sehingga potensi
sumber daya dan pengembangan kerapu macan sangat besar. Ikan kerapu ini hidup
di perairan karang pantai dengan kedalaman 0,5 – 3 m, setelah menginjak dewasa
(burayak) berpindah ke perairan yang lebih dalam yakni
kedalaman 7 – 40 m, biasanya perpindahan ini terjadi pada siang dan sore hari.
2.1.4.
Kebiasaan Makan
Ikan kerapu termasuk ikan karnivora
yang buas dan rakus, hidup menyendiri atau kelompok-kelompok kecil pada
perairan terumbu karang dan beberapa di daerah estuaria serta menyukai naungan
sebagai tempat bersembunyi. Pada stadia larva sampai juvenil, makanannya adalah
zooplankton dari jenis Rotifer, Acaria, naupli Artemia, Copepode dan jenis
lainnya, sedangkan dari stadia juvenil sampai fingerling adalah udang
jambret, udang rebon, ikan-ikan kecil dan jenis Crustacea lainnya.
Selanjutnya ikan-ikan muda dan dewasa, jenis makanan yang disukai adalah ikan,
udang dan cumi-cumi yang berukuran 10-25% ukuran tubuhnya. Ikan kerapu mencari
makan dengan jalan menyergap mangsanya dari tempat persembunyian dan setelah
itu kembali lagi
Ikan kerapu mempunyai kebiasaan makan
pada pagi hari sebelum matahari terbit dan menjelang matahari terbenam. Di alam
kerapu mencari makan sambil berenang diantara batu-batu karang, lubang atau
celah-celah batu yang merupakan tempat persembunyiannya. Kerapu tidak pernah
mau mengambil atau mengkonsumsi pakan yang diberikan apabila sudah sampai ke
dasar, meskipun kerapu dalam keadaan lapar. Biasanya kerapu berdiam di dasar
dan tidak akan menyergap pakan yang diberikan jika mereka sudah kenyang
2.2.
Persyaratan Lokasi
2.2.1.
Faktor Teknis dan Non Teknis
pemilihan lokasi untuk
budidaya ikan kerapu memegang peranan yang sangat penting. Pemilihan lokasi
yang tepat akan mendukung kelangsungan usaha dan target produksi. Pemilihan
lokasi meliputi beberapa faktor, antara lain:
a. Faktor Teknis
faktor teknis adalah
segala persyaratan yang harus dipenuhi dalam kegiatan pembenihan kerapu yang
berhubungan langsung dengan aspek teknis
dalam memproduksi benih. Beberapa aspek teknis yang penting dan harus dipenuhi
sesuai dengan Standar Nasional Indonesia (SNI) adalah sebagai berikut :
1).
Letak unit pembenihan di tepi pantai untuk memudahkan perolehan sumber air laut. Pantai tidak terlalu landai dengan
kondisi dasar laut tidak berlumpur dan mudah dijangkau agar mudah dalam
transportasi.
2). Salinitas air laut 28 - 35 ppt dan
kondisinya harus bersih dan tidak tercemar.
3). Sumber air laut dapat dipompa
minimum 20 jam perhari.
4). Sumber air tawar tersedia dengan
salinitas maksimum 5 ppt.
5).
Peruntukan lokasi sesuai dengan Rencana Umum Tata Ruang Daerah / wilayah
(RUTRD/RUTRW).
b.
Faktor Non Teknis
Faktor non-teknis merupakan
pelengkap dan pendukung faktor-faktor teknis dalam memilih lokasi untuk
pembenihan ikan kerapu. Dalam penentuan calon lokasi pembenihan, pertama kali
perlu diketahui tentang peruntukan suatu wilayah yang biasanya telah terpetakan
dalam RUTR (Rencana Umum Tata Ruang) dan tata guna lahan,
memperhatikan RUTR suatu wilayah untuk pembenihan kerapu diharapkan tidak akan
terjadi tumpang tindih lahan usaha. Persyaratan lokasi termasuk faktor non
teknis lainnya adalah mengenai kemudahan-kemudahan seperti tersedianya sarana
transportasi, komunikasi, instalasi listrik (PLN), tenaga kerja, pemasaran,
pasar, sekolah, tempat ibadah, pelayanan kesehatan dan sebagainya. Sebagai
makhluk sosial adanya kemudahan-kemudahan tersebut dapat memberikan
ketenangan dan kenyamanan dalam bekerja. Hal lain yang dapat mendukung
kelangsungan usaha adalah dukungan Pemda setempat, terutama masyarakat
sekitarnya sehingga terjadinya konflik atau masalah yang biasanya timbul
tidak akan mengancam operasional pembenihan.
2.2.2.
Sarana dan Prasarana
a. Sarana
sarana pembenihan untuk
skala rumah tangga tidak selengkap sarana pembenihan untuk skala lengkap
(besar). Agar seluruh kegiatan tersebut terlaksana diperlukan sejumlah bak
pemeliharaan larva, bak kultur pakan alami, bak filter, dan bak penampungan air
(reservoir).
1).
Bak Pemeliharaan Larva
larva kerapu dapat
dipelihara dalam bak yang terbuat dari semen (bak beton) atau disebut bak
pasangan bata. Bak yang ideal untuk pemeliharaan larva kerapu cantang adalah
bak berbentuk empat persegi panjang
dengan jumlah kapasitas optimum 10 - 15 m dengan ukuran 5 x 2 x 1,25 m atau 4 x 3 x 1,35 m (p x l x t).
Pada tiap sudut bak dibuat
agak melengkung, karena bentuk siku pada sudut bak akan menyebabkan pergerakan
larva terganggu dan penyebarannya tidak merata karena terjebak di sudut bak
serta untuk menghindari penumpukkan kotoran dan mempermudah jalannya ikan
dengan menghilangkan sudut mati.
Pipa pembuangan dibuat
sedemikian rupa agar air yang terbuang berasal dari bagian bawah. Secara
sederhana, pipa pembuangan bisa dibuat dari pipa paralon yang kedua ujungnya
diberi beberapa lubang dan ditutup dengan kasa plastik. Penempatan bak
pemeliharaan larva harus tertutup (indoor),
ventilasi udaranya cukup baik, dan suhunya hangat. Diatas bak diberi tutup (shading) dari terpal berwarna gelap,
kain hitam atau penutup berwarna gelap lainnya untuk menciptakan ruangan yang
redup (tidak lansung terkena matahari) tetapi cukup hangat untuk pertumbuhan
ikan.
2). Bak Kultur Pakan Alami
bak kultur plankton Chlorella sp. dan rotifera sebaiknya
terbuat dari pasangan bata dengan volume 8-10 ton. Jumlah bak plankton yang
diperlukan harus disesuaikan dengan
jumlah bak pemeliharaan larva. Berdasarkan perhitungan dan pengalaman
para pembenih kerapu, total volume bak
plankton yang diperlukan 100 - 150% dari total volume bak pemeliharaan larva.
Penempatan bak chlorella sp. dan bak rotifera harus dipisah untuk menghindari
kontaminasi antar keduannya. Seluruh bak plankton harus ditempatkan di dalam
ruangan terbuka yang intensitas penyinaran mataharinya cukup besar karena salah
satu faktor pemicu tumbuhnya plankton adalah ketersediaan cahaya matahari yang
cukup.
3). Bak Penampungan Air (Reservoir)
Bak penampungan air adalah
bak yang digunakan untuk menampung air bersih hasil penyaringan. Kapasitas bak
penampungan air 20 - 30% dari total volume bak larva dan bak pakan alami.
Ketersediaan bak penampungan tidak mutlak, tetapi memiliki beberapa keuntungan
sebagai berikut:
·
Air dapat didistribusikan
secara gravitasi dan merata.
·
Dapat melakukan sterilisasi
air, terutama menggunakan bahan kimia, misalnya kaporit. Dengan demikian harus
tersedia dua buah bak penampungan.
·
Menghindari terbakarnya
elektro motor pompa akibat pemakaian air yang tidak seimbang antara saluran
pemasukan (inlet) dan pengeluaran (outlet).
4). Instalasi Pengadaan Air Laut
Air laut baku (air laut
asli) merupakan suatu kebutuhan pokok dalam kegiatan pembenihan. Secara fisik,
air laut baku tersebut harus jernih, tidak berbau, tidak berwarna, dan tidak
membawa bahan endapan suspensi ataupun emulsi. Memperoleh air laut baku harus
melalui serangkain instalasi yang terdiri dari pompa air laut, pipa penyedotan
air laut, filter, bak penampungan air (reservoir),
menara air laut, dan pipa distribusi air laut ke unit produksi.
5). Instalasi Sistem Aerasi
instalasi sistem aerasi
terdiri atas aerator, jaringan pipa distribusi, selang aerasi, regulator, dan
batu aerasi yang dilengkapi dengan pemberat. Untuk menyuplai oksigen secara
teratur ke dalam bak-bak maka digunakan blower.
b. Prasarana
Sedangkan yang merupakan
prasarana usaha pemeliharaan ikan kerapu cantang di skala rumah tangga lebih
mempunyai nilai ekonomis jika didukung dengan prasarana seperti : jalan, pasar,
listrik, air tawar dan telepon. Prasarana jalan akan memperlancar pengiriman
hasil panen ke pasar ataupun untuk mendapatkan kebutuhan sehari-hari pekerja,
baik yang sifatnya konsumtif ataupun peralatan-peralatan kerja untuk usaha.
Peralatan lapangan adalah
peralatan yang digunakan sehari-hari untuk kelancaran operasional, misalnya
selang plastik, pipa sipon, ember saringan panen rotifer dan artemia. Selain
itu diperlukan juga peralatan grading
dan panen, misalnya tudung saji, gayung plastik, seser, ember plastik, dan
baskom plastik
2.3.
Teknik Pemeliharaan Larva
2.3.1.
Persiapan Bak
Bak merupakan media hidup larva dalam pembenihan. Sebelum bak ditebar
telur Kerapu, maka dilakukan persiapan bak terlebih dahulu dengan tujuan untuk
membuat kondisi media menjadi baik sehingga
perkembangan larva berlangsung dengan baik pula. Persiapan bak dapat
dilakukan dengan membersihkan, mengeringkan serta membilas bak dengan air laut.
sebelum diisi larva, bak
dicuci dengan sabun dan kaporit sebanyak 100 – 150 ppm kemudian didiamkan
selama 1 – 2 hari. Setelah itu, bak dibilas dengan air tawar dan dikeringkan.
2.3.2.
Persiapan Air Media Pemeliharaan
Air laut yang digunakan
untuk memelihara larva disaring melalui filter pasir. Salinitas air media
pemeliharaan larva idealnya sebesar 28 – 35 ppt dan suhu airnya 32 ºC. Volume
awal pengisian bak berkisar 5 – 7 m3 atau minimal separuh dari
volume total bak pemeliharaan. Dengan demikian, masih ada sisa ruangan atau
sisa volume bak untuk penambahan fitoplankton. Air yang masuk ke dalam bak
disaring dengan filter bag untuk
menghindari masuknya organisme renik laut.
2.3.3.
Pengadaan dan Seleksi Telur
Telur berasal dari
pembenihan skala besar (lengkap). Sebelum ditebar ke dalam bak pemeliharaan,
telur terlebih dahulu ditampung di dalam akuarium (50x50x50 cm) dengan
kepadatan optimum 1.000 – 2.000 butir/liter selama 2 – 4 jam. Ciri-ciri sel
telur yang baik dan berkembang adalah transparan, mengapung atau melayang,
berbentuk bulat, kuning telur berada di tengah, dan berukuran 0,8 – 1,1 mm.
Sementara itu, telur yang jelek akan mengendap di dasar akuarium dan berwarna
putih susu. Telur yang jelek tersebut dibuang dengan cara disifon. Setelah
penyiponan selesai, telur yang baik dihitung jumlahnya, kemudian langsung
ditebar ke dalam bak pemeliharaan larva.
2.3.4.
Tahap Penetasan Telur
Telur yang telah diseleksi
kemudian siap ditetaskan. Telur kerapu akan menetas 19 jam setelah pembuahan.
Pada awal penetasan, aerasi dikecilkan agar larva kerapu yang baru menetas
tidak teraduk oleh arus yang ditimbulkan aerasi. Pemeliharaan larva dilakukan
dalam bak semen dengan kapasitas 8 – 10 m3 yang dilengkapi dengan
sistem aerasi yang berjarak 50 – 100 cm dan 5 cm di atas dasar bak. Padat
penebaran telur dalam bak 8 – 15 butir/liter. Larva yang baru menetas berukuran
0,8 – 1,1 mm, putih transparan, bersifat planktonik, dan bergerak mengikuti
arus.
2.3.5.
Penebaran Larva
setelah tiba di hatchery,
telur harus diaklimatisasi selama 10 - 20 menit dengan cara memasukkan kantong
plastik ke dalam bak pemeliharaan larva. Selanjutnya telur direndam dengan
larutan iodin dengan dosis 20 ppm selama 15 - 20 menit sebagai desinfektan.
Setelah proses perendaman, telur dicuci dengan air laut selama lebih kurang 5
menit dan telur siap ditebar. Kepadatan telur sekitar 10 butir telur/liter,
telur kerapu akan menetas antara 17 - 19 jam setelah pemijahan pada suhu 27 -
29°C dengan panjang badan total 1,69 - 1,79 mm.
Penebaran larva sebaiknya
dilakukan pada pagi hari karena pada sore hari ikan mulai makan dan juga
mempunyai waktu yang cukup untuk beradaptasi pada tempat yang baru sebelum
malam. Padat penebaran telur antara 30 - 50 butir/lt dengan panjang larva
berukuran 1,69 - 1,79, sedangkan padat tebar larva 40 ekor/liter yang
memberikan tingkat kelulusan hidup lebih baik pada masa pemeliharaan umur 1 -
15 hari dan 10 ekor/lt untuk masa pemeliharaan larva umur 15 - 30 hari.
2.3.6.
Perkembangan Larva
Telur kerapu akan menetas
dan berubah menjadi larva setelah 17-25 jam dari pemijahan. Larva yang berumur
1 hari (D1) sampai D2 berwarna putih transparan bersifat planktonis, bergerak
mengikuti arus, sistem penglihatan belum berfungsi, serta masih mempunyai
kuning telur (yolk egg) sebagai cadangan makanan sehingga larva belum
membutuhkan pakan tambahan.
Pada saat larva berumur D3
cadangan makanan atau kuning telur sudah terserap habis, mulut dan sistem penglihatan
sudah mulai berfungsi sehingga larva membutuhkan pakan dari luar tubuhnya.
Karakteristik lainnya yaitu adanya bintik hitam (pigmen melanofor) pada bagian
dorskal. Bintik hitam tersebut juga dapat dijadikan indikasi pertumbuhan, bila
bintik semakin membesar berarti larva mau memangsa pakan yang tersedia secara
optimal sehingga mampu melewati fase kritis awal dan sebaliknya bintik hitam semakin kecil berarti larva tidak mau
makan, biasanya larva hanya mampu bertahan hidup sampai umur D6-D7. Pada larva
umur D6, bakal sirip punggung (spina dorsalis) dan sirip perut
(spina ventralis) mulai tampak berupa tonjolan, umur D9 spina sudah terlihat
jelas. Pertambahan panjang spina berlangsung sampai larva berumur D20, dan
selanjutnya akan mereduksi menjadi duri keras pertama pada sirip dorsal dan
sirip perut. Mereduksinya spin sampai umur D30 diikuti dengan bertambah
panjangnya tubuh larva menjadi ikan muda yang berwarna putih transparan sampai
umur D35, dan selanjutnya ikan muda mengalami perubahan warna (pigmentasi) yang sama seperti
ikan dewasa.
2.3.7.
Fase Kritis
ditemukan fase-fase kritis
yang harus diperhatikan agar tingkat kematian larva bisa ditekan sekecil
mungkin. Fase-fase kritis tersebut sebagai berikut.
a. Fase Kritis I
Terjadi pada umur D3 - D7,
persediaan kuning telur sebagai cadangan makananya telah terserap habis. Bukaan
mulut larva juga masih terlalu kecil untuk memangsa pakan seperti rotifera.
Sementara itu, organ pencernaannya belum berkembang sempurna sehingga belum
dapat memanfaatkan pakan yang tersedia secara maksimal.
b. Fase Kritis II
Kematian larva terjadi
pada umur D10 sampai dengan D12. Pada saat itu, spina calon sirip punggung dan
sirip dada mulai tumbuh semakin panjang. Pada fase ini kebutuhan nutrisinya
lebih komplit. Pakan yang diberikan masih sama dengan fase sebelumnya.
c. Fase Kritis III
Kematian larva terjadi
pada berumur D21 sampai dengan D25 ketika terjadi metamorfosis, yakni pada saat
spina tereduksi menjadi tulang sirip punggung dan sirip dada pada kerapu muda.
d. Fase Kritis IV
Pada fase ini, benih
berumur lebih dari 35 hari. Sifat kanibalnya sudah mulai tampak. Benih yang
ukurannya lebih besar akan memangsa yang lebih kecil.
2.4. Pengelolaan Pakan
tabiat makan kebanyakan ikan laut
dimulai dengan memakan organisme hidup yang bergerak. Organisme hidup seperti
zooplankton adalah jenis pakan yang disukai larva ikan laut, meski ada beberapa
larva yang suka terhadap jenis fitoplankton yang bergerak seperti flagellata.
Pakan yang tidak hidup, misalnya pakan buatan, biasanya tidak diterima oleh
larva ikan laut pada tahap awal kehidupannya. Tetapi larva ikan yang sudah
lebih besar biasanya dapat menerima pakan yang tidak hidup.
2.4.1. Pakan Alami
Pakan alami digolongkan menjadi dua,
yakni plankton hewani (zooplankton) dan plankton nabati (fitoplankton). Contoh
zooplankton adalah rotifera dan artemia, dan contoh fitoplankton adalah
chlorella. Untuk mendapatkan pakan alami secara berkesinambungan dan memenuhi syarat
kualitas maupun kuantitas diperlukan perencanaan produksi sesuai dengan jenis
pakan alami.
2.4.1.1. Kultur Chlorella sp.
Klorela (Chlorella) adalah jenis alga hijau renik bersel tunggal (unicelluler) yang dialam merupakan
plankton tumbuhan (fitoplankton). Klorela diklasifikasikan ke dalam filum
Chlorophyta, kelas Chlorococcales (Protococcales), famili Chlorellacea dan
genus Chlorella.
di dalam pembenihan ikan skala rumah
tangga, mengulturkan atau membudidayakan chlorella di laboratorium dan secara semimasal
biasanya tidak dilakukan. Bibit chlorella dapat diperoleh dari pembenihan skala
besar (lengkap). Namun, jika memungkinkan, disarankan membuat laboratorium
pakan alami yang sederhana. Ruangan yang digunakan tidak perlu terlampau luas,
cukup 3 x 3 m, tetapi hasilnya justru lebih baik karena kualitas dan
kontinuitas chlorella yang diperlukan dapat terjaga.
a. Kebutuhan Pupuk Untuk Kultur Chlorella
Kebutuhan pupuk untuk kultur skala
semimasal dan skala massal yakni :
Bahan-bahan :
·
Urea : 40 ppm
·
ZA :
30 ppm
·
SP-36 : 30 ppm
·
EDTA : 5 ppm
·
FeCl3 : 2 ppm
·
Kaporit : 10 ppm
·
Na-Thiosulfat : 5 ppm
Catatan : -
komposisi pupuk tersebut tergantung dari komposisi air laut di lokasi kultur.
-
jumlah dan dosis pupuk yang diperlukan dapat dihitung berdasarkan ukuran bak
kultur
b. Cara Kultur Skala Massal
Kultur skala masal merupakan kelanjutan dari kultur skala
semimassal yang digunakan dalam wadah bak beton yang berukuran minimal 10 m3.
Pemupukan dilakukan menggunakan pupuk massal.
·
Bak dan aerasi yang
digunakan untuk kultur dibersihkan dengan kaporit agar bebas dari kotoran dan
organisme lain yang mengganggu selama proses kultur berlangsung.
·
Air laut dengan
salinitas 30-35 ppt diberi kaporit sebanyak 10 ppm kemudian dibiarkan sekitar
12 jam dan diberi aerasi yang kuat. Setelah itu, air laut dinetralkan dengan
natrium thiosulfat 5 ppm.
·
Bibit yang digunakan
sebanyak 20 persen dari total volume air dengan kepadatan awal kultur 1-2 juta
sel/ml.
·
Pemanenan dilakukan
setelah kultur berumur 6-8 hari atau tingkat kepadatannya mencapai 10-16 juta
sel/ ml. Panen Chlorella sp. dapat
dilakukan dengan menggunakan pompa kemudian dialirkan ke dalam bak pemeliharaan
larva atau diendapkan dengan larutan NaOH 300 ppm, dibiarkan 4-6 jam. Endapan Chlorella sp. itu di tampung d dalam
ember, kemudian dapat dimasukkan ke dalam bak larva sebagai pakan rotifera atau
sebagai bibit untuk kultur massal.
2.4.1.2. Kultur
Rotifera
Rotifera merupakan primary consumer dalam rantai makanan
udang dan ikan. Brachionus plicatilis adalah
spesies dari golongan rotifera yang sekarang dikultur dan digunakan sebagai
salah satu pakan pertama kali untuk larva udang dan ikan. Brachionus plicatilis merupakan salah satu rotifera yang
diklasifikasikan kedalam filum Trochelminthes, kelas Rotatoria/Rotifera, ordo
Notommatida/Monogonata, famili Brachioninae, genus Brachionus.
Kultur rotifera dilakukan di dalam
bak beton berukuran 6-8 m3. Cara kultur rotifera tersebut sebagai
berikut.
·
Bak diisi Chlorella sp.yang siap dipanen (usia
minimum empat hari) sebanyak sepertiga dari ukuran volume bak.
·
Setelah itu, bak
ditebari bibit rotifera dengan kepadatan awal sekitar30 individu/ml.
·
Setiap hari pada pagi
dan sore hari diisi dengan Chlorella sp.
sampai volumenya 6-8 m3.
·
Pemanenan rotifera
menggunakan metode panen harian (setiap hari dipanen sebanyak 30%). Bisa juga
dipanen total dengan plankton net ukuran
60 mikron setelah usia kultur minimum empat hari atau kepadatannya telah
mencapai 100-150 individu/ml.
·
Yeast roti
dapay diberikan setiap hari sebanyak 0,2 gram/ m3 sebagai sumber
vitamin B sehingga dapt meningkatkan pertumbuhan rotifera. Bahan komersial lain
yang dapat digunakan untuk mempercepat pertumbuhan rotifera adalah protein
selco.
2.4.1.3. Kultur
Artemia
Artemia atau brine shrimp adalah sejenis
udang primitif yang termasuk dalam filum Arthropoda, kelas Crustacea, ordo
Anostraca, famili Artemidae, genus Artemia.
Dari genus Artemia dikenal
beberapa spesies, antara lain Artemia
salina, A. franciscana, A.urmiana, A. parthenogenetika, A. tunisiana, A.
persimilis, A. monica, dan A. dessensis.
teknik penetasan artemia terdapat 2
cara yakni:
a. Cara Pertama
·
Artemia direndam di
dalam air laut selama 15-30 menit kemudian diberi aerasi selama 18-24 jam.
Perendaman dilakukan di dalam ember yang bervolume 10 liter.
·
Aerasi diangkat dan
dibiarkan selama 10 menit. Artemia yang telah menetas berada di bawah dan
cangkangnya berada dipermukaan. Setelah menetas, artemia segera dipanen dengan
cara disifon.
b. Cara Kedua
·
Mencampur klorin (NaHCO3)
cair dengan artemia yang telah direndam kemudian diaduk selama 5-10 menit
hingga kulit luar artemia menipis
·
Artemia dicuci dengan
air laut hingga bersih dan tidak berbau klorin.
·
Setelah itu, artemia
diberi aerasi selama 18-24 jam dan dipanen. Biasanya, artemia yang baru menetas
akan berenang ke permukaan air, sementara kotoran (kulit cacing) berada di
dasar perairan.
2.4.2. Pakan Buatan
Agar tidak terjadi malnutrisi pada larva, maka pemberian pakan buatan harus dilakukan sedini mungkin. Pakan buatan dapat juga berdampak negative terhadap kualitas air akibat dari pembusukan sisa pakan. Disarankan untuk memberikan pakan buatan dimulai pada saat larva berumur D12. Karena larva lebih suka memangsa pakan hidup (rotifer/artemia), maka sebaiknya pemberian pakan buatan dikombinasikan dengan pakan hidup.
selama masa pertumbuhan larva, pakan
buatan diberikan berdasarkan ukuran partikelnya. Pakan buatan dapat dibeli di
kios pakan dan peralatan pembenihan ikan. Jenis pakan buatan yang tersedia
dipasaran antara lain NRD (Inve), Lanzy MB (Inve), ADP (White Crane), RDN
(Radiance), Love larva, dan MB1/2 (Riken).
2.4.3. Pemberian
Pakan
a. Pemberian Chlorella
Bak penampungan chlorella diletakkan di atas bak pemeliharaan larva. Perlengkapan
aerasi dimasukkan dalam bak penampungan disertai selang aerasi untuk
mengalirkan chlorella ke bak pemeliharaan larva. Ujung pipa spiral tersebut dihisap sampai chlorella
tersebut mengalir. Ujung pipa tersebut dimasukkan kedalam bak pemeliharaan
larva dengan system gravitasi.
b. Pemberian Rotifer
Rotifer disaring dan dimasukkan ke dalam ember. Rotifer ditebar
merata ke dalam bak pemeliharaan dengan hati- hati.
c. Pemberian Artemia
Artemia diambil dari ember
pemeliharaan volume 50 liter dan di masukkan ke dalam
ember volume 12 liter. Artemia di bagikan merata ke dalam bak pemeliharaan dengan hati- hati.
d. Pemberian Pakan Buatan
Pakan buatan dimasukkan ke dalam botol pakan. Pakan buatan
disemprotkan ke permukaan air bak pemeliharaan. Sedangkan
menurut Hamka (2009), Cara
pemberian pakan buatan dilakukan dengan cara menabur pakan sedikit demi sedikit
memakai tangan. Sesuai dengan perkembangan larva, ukuran pakan buatan
disesuaikan dengan ukuran larva dan jumlah yang diberikan perhari disesuaikan
dengan kemapuan larva memangsanya.
2.4.4. Frekuensi
dan Waktu Pemberian Pakan
a. Rotifera
(Branchionus sp.)
Rotifera
diberikan pada saat larva berumur 2 hari, yaitu pada saat kuning telur habis
sebanyak 3 - 5 ind/ml dan diberikan pada sore hari. Pemberian rotifera dengan kepadatan 3 - 5 ind/ml ini terus
dipertahankan sampai D-30 dan diberikan 3 kali sehari (pagi,
siang, dan sore).
Rotifera tersebut
di tambahkan chlorella hingga
mencapai volume 200 liter dan bak tersebut diberi aerasi sedang.
Sebelum rotifera diberikan, dilakukan pengkayaan (enrichment) dengan beberapa jenis bahan pengkaya misalnya scout emulsion atau selco 0,025 ppm, RDN HUFA 0,5 ppm,
Vitamin C 1000 0,025 ppm dan permasol 0,025 ppm.
b. Artemia
Naupli artemia mulai diberikan pada saat larva
berumur 14 - 16 hari. Naupli artemia diberikan
2 kali sehari sampai larva berumur 20 hari dan 2 - 3 kali sehari mulai umur 21
- 30 hari sebanyak 1 - 3 ind/ml. Mulai umur 31 - 45 hari naupli artemia diberikan sebanyak 3 kali sehari
sebanyak 3 - 10 ind/ml.
Pemberian pakan dengan artemia
dilakukan setelah larva memakan pakan buatan, Yaitu 5 - 7 hari setelah larva
makan pakan buatan atau setelah larva berumur D15. Untuk memacu agar
larva lebih banyak memakan pakan buatan, pakan artemia diberikan hanya sekali
pada sore hari dan diberikan hingga larva berumur D30. Kepadatan artemia tidak
dapat ditentukan dengan pasti, sebagai patokan adalah apabila larva diberi
pakan artemia dalam waktu satu jam harus habis, tidak ada lagi yang tersisa
dalam air pemeliharaan larva. Artemia yang tersisa akan dimakan larva pada
keesokan harinya dan akan berakibat malnutrisi pada larva.
c. Pakan Buatan
Pakan buatan mulai diberikan mulai umur 8
hari. Pemberian pakan buatan pada umur 8 - 17 hari
sebanyak 8 gram/pemberian sebanyak 2 kali sehari dan pada umur 18 - 20 hari
diberikan 3 kali
sehari. Mulai umur 21 hari pakan buatan yang diberikan ditingkatkan menjadi 10
gram/pemberian dengan frekuensi 3 kali sehari. Pada umur 31 - 45 hari
pakan buatan diberikan sebanyak 15 gram/pemberian dengan frekuensi 3 kali sehari dan ditingkatkan menjadi 4 kali sehari pada umur 46 - 50
hari. Setelah mencapai umur 50 hari (mulai D51) pakan buatan diberikan sebanyak
10
- 15
gram/pemberian dengan frekuensi 4 kali sehari.
2.4.5. Dosis
Pemberian Pakan
Untuk lebih jelasnya, dosis pemberian pakan pada pemeliharaan larva ikan kerapu
cantang dapat dilihat pada Tabel 2.
Tabel 2. Dosis pemberian pakan
Umur
Ikan (Hari)
|
Jenis
Pakan
|
Dosis
|
Keterangan
|
D0
|
Yolk egg
|
-
|
-
|
D1
|
Chlorella sp.
|
100-200 rb
sel/ml
|
1x sehari
|
D2-D6
|
Branchionus plicatilis
|
5-10 ind/ml
|
dipertahankan
|
Chlorella sp.
|
500 rb
sel/ml
|
1x sehari
|
|
D7-D20
|
Branchionus plicatilis
|
10-15
ind/ml
|
Dipertahankan
|
Chlorella sp.
|
500-1 jt
sel/ml
|
1x sehari
|
|
Pakan
buatan
|
At satiation (secukupnya)
|
D17,
diberikan 4x sehari
|
|
D20-D30
|
Branchionus plicatilis
|
10-15
ind/ml
|
dipertahankan
|
Chlorella sp.
|
500 rb
sel/ml
|
1x sehari
|
|
Nauplius artemia
|
1-3 ind/ml
|
2x sehari
|
|
Pakan
buatan
|
At satiation (secukupnya)
|
4-6x sehari
|
|
D30-D40
|
Nauplius artemia
|
3-10 ind/ml
|
2x sehari
|
Pakan
pellet
|
At satiation (secukupnya)
|
7-10x
sehari
|
|
D40-D50
|
Jambret
|
Ad libitum (pakan selalu tersedia)
|
2x sehari
|
Pakan
pellet
|
At satiation (secukupnya)
|
10x sehari
|
|
D50-D60
|
Pakan
daging ikan segar (di-blender)/teri nasi
|
3-5% bobot
tubuh (At satiation)
|
2x sehari
|
Pakan
pellet
|
At satiation
|
10x sehari
|
|
> D60
|
Cacahan
ikan
|
3-5% bobot
tubuh (At satiation)
|
2x sehari
|
Pakan
pellet
|
At satiation (secukupnya)
|
10x sehari
|
2.5.
Pengelolaan Kualitas Air
pergantian air dilakukan
dengan melihat kondisi larva. Pergantian
air dapat dilakukan
mulai umur 8 - 20 hari
sebanyak 10 - 20%. Pada umur 21 - 30 hari
pergantian air dapat
ditingkatkan sebanyak 20 - 50%. Mulai umur 31 - 45 hari pergantian
air dilakukan sebanyak 75 - 100 %. Mulai umur 51 hari sampai panen pergantian
air dilakukan secara flowtroughsebanyak
lebih dari 100%. Pergantian air dilakukan dengan cara pipa pengeluaran
dicabut dan air dalam bak akan terbuang. Kran air pada pipa
pemasukan kemudian dibuka agar air laut mengalir masuk ke dalam bak
pemeliharaan
Penyiponan
dilakukan dengan menggerakkan pipa sipon secara perlahan-lahan ke dasar bak
yang terdapat kotoran secara hati-hati agar jangan sampai terjadi pengadukan kotoran dasar dan
penyiponan dasar bak dilakukan dengan melihat kondisi larva dalam bak
pemeliharaan.Penyiponan
dapat dilakukan setelah larva D-20 atau dengan melihat kondisi dasar bak
pemeliharaan larva apabila sudah kotor. Penyiponan bertujuan untuk membuang
sisa hasil metabolisme, pakan buatan yang tidak termakan, dan kotoran lain yang
mengendap di dasar bak pemeliharaan. Adapun pergantian air pada pemeliharaan larva ikan kerapu
dapat dilihat pada Tabel 3.
Tabel 3.
Pergantian air pada pemeliharaan ikan kerapu
No.
|
Umur (hari)
|
Pergantian Air
|
Sipon
|
1
|
D0
|
-
|
Sipon
telur mengendap
|
2
|
D1
|
-
|
-
|
3
|
D2
|
-
|
-
|
4
|
D3 – D7
|
-
|
-
|
5
|
D8 – D20
|
10 – 20%
|
-
|
6
|
D21 – D30
|
20 – 50%
|
Sipon
|
7
|
D31 – D45
|
50 – 75%
|
Sipon
|
8
|
D46 – D50
|
75 – 100%
|
Sipon
|
9
|
D51 – Panen
|
Ganti air 100% (flowtrough)
|
Sipon
|
Adapun standar kualitas air yang harus dijaga selama
masa pemeliharaan larva dapat dilihat pada Tabel 4.
Tabel 4. Standar kualitas air selama masa
pemeliharaan larva
Parameter
Kualitas air
|
Nilai
|
Alat
Pengukur
|
Suhu
air
|
28-32
0C
|
Termometer
|
Salinitas
|
28-35
ppt
|
Salinometer/Refraktometer
|
|
|
|
pH
|
7,9-8,3
|
Kertas lakmus/pH
meter
|
|
|
|
Oksigen terlarut
|
>5
ppm
|
DO
meter
|
Amonia
|
<0,01
ppm
|
Titrasi/tes
kit
|
Nitrit
|
<1ppm
|
Tes
kit/ Metode spektrofotometer
|
2.6.
Monitoring Pertumbuhan
Untuk mengetahui
pertumbuhan, setiap 2 minggu sekali dilakukan sampling sebanyak 10 % dari
populasi/perlakuan dengan mengukur panjang dan berat ikan. Sedang sintasan ikan
dihitung pada akhir fase pemeliharaan pendederan dan akhir fase penggelondongan
saja. Pengukuran terhadap panjang dan berat benih merupakan cara yang paling
sederhana untuk mengetahui pertumbuhan benih selama masa pemeliharan. Untuk
menyederhanakan sekaligus mengurangi banyaknya penanganan, pemantauan
pertumbuhan cukup dilakukan dengan pengukuran panjang individu.
Hal ini karena standar
yang umum digunakan di pasaran adalah ukuran panjang benih. Pelaksanaan
sampling sebaiknya dilakukan bersamaan dengan kegiatan-kegiatan lain seperti
saat grading atau pengobatan. Sampling dapat dilakukan setiap dua minggu
sekali sebanyak 10% - 20% dari total biomasa dan sekaligus memperhitungkan
prosentase tiap-tiap ukuran yang ada
2.7.
Penyeragaman Ukuran (Grading) dan
Pendederan
grading
bertujuan untuk
menyeragamkan benih yang ditempatkan dalam suatu wadah dengan tujuan mengurangi
sifat kanibal. Benih kerapu cantang sudah dapat di grading pada umur D-35 sampai dengan D-40. Penanganan grading yang tidak hati-hati akan
mengakibatkan ikan mudah stress.
Benih ikan kerapu ditangkap menggunakan seser dan dimasukkan ke dalam baskom
dan diberi aerasi. Benih tersebut masukkan ke dalam alat grading. Benih
kerapu dipisahkan antara larva ukuran kecil, sedang dan
besar. Larva yang sudah digrading, dimasukkan kedalam bak peneliharaan baru
sesuai dengan ukurannya yaitu satu tempat utuk ukuran kecil, satu tempat untuk
ukuran sedang dan demikian pula untuk ukuran yang besar.
Larva yang sudah digrading dipindahkan
ke dalam baskom yang berisi air laut steril. Baskom yang berisi larva kemudian dipindahkan dan ditebar ke bak pendederan secara
perlahan- lahan.
Weaning adalah salah satu cara yang dilakukan
untuk merubah kebiasaan makan benih dari salah satu jenis pakan ke pakan
lain.Pendederan dapat dilakukan langsung dalam bak. Untuk bak dengan kapasitas
10 m3 pendederan dapat
dilakukan dengan padat penebaran
4.000 - 5.000 ekor
2.8.
Pengendalian Hama dan Penyakit
penyakit pada ikan kerapu
dapat disebabkan oleh faktor pathogen dan non pathogen. Ikan sakit akibat
pathogen sering terjadi karena ikan tidak memadai, baik mutu, ukuran, dan
jumlahnya. Sedangkan non pathogen disebabkan oleh faktor-faktor kualitas air,
seperti (oksigen terlarut, suhu, salinitas, adanya senyawa atau gas beracun).
Tindakan pencegahan untuk
mengurangi terserangnya penyakit pada ikan kerapu antara lain:
1. Mempertahankan
kualitas air tetap baik.
2. Mengurangi
kemungkinan penanganan yang kasar.
3. Pemberian
pakan yang cukup, baik mutu,
ukuran maupun jumlahnya.
4. Mencegah
menyebarnya organisme penyebab timbulnya penyakit dari bak pemeliharaan yang satu ke bak pemeliharaan yang lain.
Penyakit non pathogen yang menyerang induk
dan larva kerapu dapat disebabkan oleh perairan budidaya maupun pakan. Penyakit
karena lingkungan perairan dapat berupa acidosis,
gas bubble disease, dan keracunan.
Sedangkan untuk pencegahannya dilakukan dengan pemberian vitamin E secara
teratur dan senyawa antioksidan metabolik
dalam pakan Penyakit karena nutrisi dapat berupa rendahnya kualitas pakan dan
defisiensi vitamin E.
penyakit pathogen yang menyerang larva ikan
kerapu ialah bakteri (vibrio sp),
parasiter (cacing pipih trematoda)
dan penyakit viral (viral nervous
necrosis virus). Upaya pengendalian penyakit viral hingga saat ini belum
dapat ditemukan. Sedangkan upaya pencegahan dilakukan dengan pemelihaaran dan
penanganan kualitas air yang baik, serta menjaga sanitasi lingkungan
pemeliharaan.
2.9. Panen dan Pasca Panen
2.9.1. Panen
pemanenan dilakukan
secara hati-hati agar ikan tidak stress. Sehari sebelum pemanenan, ikan
dipuasakan terlebih dahulu untuk mengurangi kotoran (feces) dan mencegah muntah dalam kantong plastik pada saat
pengangkutan.
Benih yang akan dipanen
ditangkap menggunakan tudung saji kemudian dimasukkan ke dalam tudung saji yang
lainnya untuk dihitung. Kantong benih diletakkan dalam baskom kemudian diisi
dengan air laut steril. Benih yang sudah dihitung dimasukkan kedalam kantong
benih dengan kepadatan 100 ekor/ kantong (disesuaikan dengan ukuran ikan dan
lama pengakutan) dan diberi Kantong benih diikat dengan karet gelang dan
dimasukkan kedalam sterofoam. Kotak sterofoam diberi es batu disekitar kantong
benih. Sterofoam tersebut ditutup rapat dan diisolasi serta diberi label. Kotak
sterofoam yang sudah ditutup rapat siap dikirim pada konsumen.
2.9.2. Pasca
Panen
pengangkutan benih ikan dibagi menjadi dua yaitu menjadi yaitu dengan
sistem terbuka dan tertutup. Pengiriman dengan sistem terbuka bisanya
diterapkan untuk transportasi jarak pendek. Dalam transportasi memerlukan waktu
kurang dari 3 jam dapat digunakan wadah sederhana, misalnya wadah drum dari
plastik yang dipasang di kendaraan transportasi dan dipasok oksigen dari
kompresor akan lebih baik dibandingkan wadah yang terbuat dari logam. Sedangkan
untuk jangka waktu yang lebih lama diperlukan alat-alat khusus. Pengiriman
benih ikan tertutup digunakan untuk transportasi jarak jauh dan menggunakan
alat transportasi khusus seperti pesawat dan kereta api. Transportasi tertutup
menggunakan kantong plastik yang dipasok oksigen. Pengemasan benih ikan
dilakukan dengan kantong plastik rangkap. Penurunan suhu media air transportasi
biasanya dilakukan untuk mengurangi
aktivitas metabolisme ikan.
sebelum melakukan usaha pembenihan
Kerapu terlebih dahulu harus diketahui
jenis Kerapu yang sedang diminati konsumen, termasuk
informasi harganya. Sejauh ini pemasaran benih Kerapu untuk segala
ukuran (3 - 10 cm) tidak
terlampau sulit karena usaha pembesaran Kerapu, baik di keramba jaring apung
(KJA), bak terkontrol, maupun di tambak, sudah banyak dilakukan. Daerah
pemasaran Kerapu di Indonesia antara
lain Sumatera Barat, Batam, Kepulauan Bangka, Sumatera Selatan, Lampung, Bali,
dan Irian Jaya. Sementara itu, daerah pemasaran Kerapu di luar negeri antara lain Malaysia,
Singapura, Taiwan, dan Cina.
DAFTAR
PUSTAKA
Akbar, S dan Sudaryanto.2001. Pembenihan
dan Pembesaran Ikan Kerapu Tikus. Penebar Swadaya. Jakarta
Balai Budidaya Air Payau Situbondo.
2009. Cara Mudah Produksi Benih Kerapu.
BBAP Situbondo. Situbondo
Balai Budidaya Laut Lampung. 2004. Pembenihan Ikan Kerapu. BBL Lampung.
Lampung.
Hamka. 2009. Petunjuk Teknis Pembenihan Ikan Kerapu Macan
(Epinephelus fuscoguttatus). Makalah pada Pelatihan Penerapan CPIB/CBIB
Bagi Petugas Teknis/Manajer Pengendali Mutu (MPM) Bidang Perbenihan Perikanan
Budidaya di BBAP Takalar Tanggal 27 Juli s/d 3 Agustus 2009.
Kordi
Ghufron M. 2001. Pembesaran Kerapu Bebek
di Keramba Jaring Apung. Kanisius. Yogyakarta.
---------------------- . 2010. Pakan
Udang Nutrisi-Formulasi-Pembuatan-Pemberian.
Akademia. Jakarta.
-----------------------. dan Andi Tamsil.
2010. Pembenihan Ikan Laut Ekonomis Secara Buatan. Lyli Publisher. Jakarta
Murtidjo, B. A. 2002. Budidaya Kerapu Dalam Tambak. Penerbit
Kanisius. Yogyakarta.
Subyakto, S dan Agus,
S. 2009. Cara Mudah Produksi Benih Kerapu
Skala Rumah Tangga. Seksi Standardisasi dan Informasi Balai Budidaya Air
Payau Situbondo. Situbondo
Subyakto, S, dan Sri Cahyaningsih. 2003. Pembenihan Kerapu Skala Rumah Tangga. Agromedia. Jakarta.